Sekilas.co – Otoritas imigrasi Amerika Serikat (AS) menahan lebih dari 300 pekerja Korea Selatan (Korsel) di sebuah pabrik baterai di Georgia pekan lalu, dalam investigasi kriminal terkait pelanggaran visa. Insiden ini memicu reaksi keras dari Korsel dan menimbulkan kekhawatiran soal masa depan investasi asing di AS.
Presiden Korsel, Lee Jae-myung, yang baru saja mengunjungi AS dan bertemu Presiden Donald Trump pada akhir Agustus, menyebut insiden tersebut sebagai “pelanggaran yang tidak adil” dan merasa “sangat bertanggung jawab” untuk melindungi warga negara Korsel.
Sebagai respons, Seoul mengutus Menteri Luar Negeri (Menlu) Cho Hyun ke Washington. Pada Rabu (10/9), Cho bertemu dengan Menlu AS Marco Rubio untuk membahas penahanan pekerja tersebut dan mendesak pihak berwenang AS agar mereka dipulangkan dengan cepat tanpa mengalami kendala saat kembali ke AS di masa depan.
Sebuah pesawat carter Korean Air yang disiapkan untuk memulangkan para pekerja tiba di bandara Atlanta pada Rabu. Menurut Yonhap, pesawat berangkat pada Kamis (11/9) membawa 316 warga Korsel.
Pejabat AS menyatakan operasi ini bertujuan menegakkan undang undang imigrasi. Mereka menjelaskan sebagian besar tahanan masuk ke AS dengan visa B-1 atau ESTA, yang tidak memperbolehkan mereka bekerja.
Kepala perbatasan Gedung Putih, Tom Homan, tanpa memberikan komentar spesifik tentang operasi di Georgia, menegaskan akan ada lebih banyak operasi penegakan hukum di tempat kerja.
Hyundai dan LG Energy Solution, pemilik pabrik yang menjadi sasaran, menegaskan para pekerja yang ditahan merupakan teknisi subkontrak untuk tugas sementara. Hyundai berjanji akan mematuhi semua undang-undang dan peraturan imigrasi AS.
Dalam wawancara, Trump menyebut para tahanan sebagai “orang asing ilegal” dan menekankan bahwa AS tetap terbuka untuk investasi asing, asalkan perusahaan mematuhi peraturan imigrasi.
Namun, ketika menjelaskan penundaan satu hari pemulangan tahanan pada Rabu, Rubio menyatakan Trump “mendorong” para pekerja tersebut untuk tetap di AS guna melanjutkan pekerjaan dan melatih pekerja lokal, menurut Yonhap.
Pabrik yang menjadi target merupakan bagian dari proyek Hyundai senilai 12,6 miliar dolar AS di Georgia, yang disebut sebagai “investasi tunggal terbesar dalam sejarah negara bagian itu” dan direncanakan mempekerjakan 8.500 orang.
Penggerebekan ini berpotensi memperlambat pembangunan. LG Energy Solution bahkan menghentikan perjalanan bisnis karyawannya ke AS kecuali untuk keperluan mendesak, menurut sejumlah laporan media.
Para analis memperingatkan penggerebekan ini bisa menahan investor asing untuk berinvestasi di AS, karena proyek manufaktur, termasuk yang dipimpin perusahaan Korsel, membutuhkan lebih banyak pekerja terampil dibandingkan yang diperbolehkan oleh program visa saat ini.
Menteri Keamanan Dalam Negeri AS, Kristi Noem, pada Senin (8/9) menyebut penggerebekan imigrasi di Georgia sebagai “kesempatan besar” untuk memastikan investor asing mematuhi kebijakan imigrasi pemerintahan Trump.
Setelah pertemuan para diplomat pada Rabu, Cho mengatakan kepada wartawan Korsel bahwa kedua pihak sepakat membentuk kelompok kerja untuk menangani masalah visa, termasuk kemungkinan pembuatan kategori visa baru yang mendukung perjalanan bisnis dan operasi perusahaan Korsel di AS.





