Hati-hati Ekonom Peringatkan Risiko Pinjaman Pemda Lewat APBN

foto/istimewa

sekilas.co – Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet, mengingatkan risiko kebijakan pemerintah pusat yang memberikan pinjaman kepada pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD menggunakan APBN. Menurutnya, kebijakan ini bisa menjadi cara untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong kegiatan ekonomi di daerah. “Namun di sisi lain, potensi dampaknya terhadap kesehatan fiskal nasional tidak bisa dianggap ringan,” ujar Yusuf, mengutip Antara, Rabu, 29 Oktober 2025.

Karena dana bersumber dari APBN, Yusuf menekankan bahwa setiap risiko gagal bayar dari Pemda atau BUMN pada akhirnya akan menambah beban fiskal pusat, terutama jika tidak ada mekanisme pengawasan yang kuat dan disiplin dalam pengelolaan pinjaman. Ia menambahkan bahwa pengalaman Cina bisa menjadi pelajaran penting.

Baca juga:

Skema pembiayaan daerah di negara tersebut sempat berhasil mempercepat pembangunan, namun kemudian menimbulkan tumpukan utang lokal yang besar akibat lemahnya pengendalian dan pengawasan fiskal. “Indonesia perlu berhati-hati agar kebijakan serupa tidak menimbulkan risiko yang sama, yakni munculnya liabilities tersembunyi yang membebani APBN di masa depan,” ujar Yusuf.

Untuk itu, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2025 dijalankan dengan cermat. Setiap permohonan pinjaman harus diseleksi berdasarkan kapasitas fiskal daerah, tingkat kemandirian keuangan, serta kelayakan ekonomi proyek yang akan dibiayai.

Pengawasan independen dan transparansi laporan juga menjadi kunci untuk mencegah penyalahgunaan dana atau pembiayaan proyek yang tidak produktif. “Tanpa disiplin fiskal dan akuntabilitas yang jelas, kebijakan ini justru berisiko menimbulkan tekanan baru pada APBN, bukan memperkuatnya,” ujar Yusuf.

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2025 tentang Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah Pusat pada 10 September 2025. Dengan sejumlah ketentuan, pemerintah daerah (Pemda) bisa meminjam dana dari pemerintah pusat yang bersumber dari APBN.

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, memiliki pandangan serupa. Ia mengingatkan bahwa pemberian pinjaman kepada Pemda dan BUMN sebaiknya hanya untuk kebutuhan mendesak dan sesuai kapasitas pembayaran.

Pembayaran pokok pinjaman bisa dilakukan secara berkala melalui pemotongan Transfer ke Daerah (TKD), baik setiap semester maupun setiap tahun. “Untuk menghindari kepala daerah yang melempar tanggung jawab utang kepada penggantinya, tenor utang tidak boleh lebih panjang dari masa jabatan kepala daerah yang menandatangani perjanjian pinjaman. Selain itu, DPRD harus menyetujui rencana pinjaman tersebut,” jelas Wijayanto.

Ia menilai kebijakan ini dipicu kekhawatiran pemerintah bahwa Pemda tidak mampu membiayai pembangunan, bahkan kebutuhan operasional, akibat pemangkasan TKD. Selain itu, PP ini juga mengandung unsur financial engineering, sebagai upaya pemerintah menyiasati ketentuan defisit maksimal 3 persen terhadap PDB.

Wijayanto melihat PP 38/2025 membuka peluang bagi pemerintah untuk mengalihkan TKD yang semula tercatat sebagai belanja APBN menjadi pinjaman dari pemerintah pusat, yang dikategorikan sebagai pembiayaan APBN. “Jika ini terus berlanjut, kita akan memasuki era di mana defisit APBN tetap di bawah 3 persen, tetapi utang pemerintah terus meningkat. Ujung-ujungnya adalah keberlanjutan fiskal kita semakin tertekan,” kata dia.

Menurut Wijayanto, langkah yang lebih terbuka dan sehat adalah dengan menerbitkan APBN Perubahan untuk menyesuaikan TKD, kemudian meninjau kembali batas defisit APBN sebesar 3 persen. Meskipun tidak populer, opsi ini dianggap lebih aman dan transparan.

Artikel Terkait